Bismillah.
Alhamdulillah pada kesempatan ini kita dipertemukan kembali untuk bersama-sama belajar mengenal tauhid dengan memetik faidah dari Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah. Pada seri terdahulu kita telah membahas kandungan dari ayat ke-23 dari surat al-Israa’ yang dibawakan oleh penulis Kitab Tauhid.
Ayat tersebut menunjukkan bahwa tauhid adalah perintah yang paling agung dan kewajiban yang terbesar bagi setiap insan. Perintah yang agung ini berasal dari Allah Rabb yang telah menciptakan kita dan orang-orang sebelum kita; bahkan Dia lah Rabb yang telah menciptakan langit dan bumi beserta seluruh isinya. Merupakan kewajiban bagi kita untuk tunduk kepada-Nya. Tentu Allah yang telah menciptakan diri kita lebih mengetahui apa yang baik bagi kita.
Kaum muslimin yang dirahmati Allah, kita semuanya tentu masih ingat bahwa hidupnya kita di alam dunia ini memiliki sebuah tujuan yang sangat mulia. Yaitu untuk beribadah kepada Allah, dan kita pun ingat bahwa ibadah kepada Allah itu merupakan kebutuhan kita sebagai hamba. Allah mewajibkan kita beribadah kepada-Nya bukan karena Allah membutuhkan kita, semata-mata karena Allah ingin memberikan jalan agar kita bisa berbahagia di dunia dan di akhirat sana.
Oleh sebab itu Allah mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab agar manusia mentauhidkan Allah dan tunduk kepada syari’at-Nya. Allah tidak menciptakan makhluk ini sia-sia belaka, tidak diperintah atau dilarang. Bahkan hidupnya kita di alam dunia ini adalah ujian bagi kita; apakah kita termasuk hamba yang bersyukur kepada-Nya atau justru kufur?
Dari sini kita mengetahui bahwa kehidupan kita ini akan berarti apabila kita mentauhidkan-Nya. Tidak ada artinya kita hidup secara fisik dan jasmani tetapi ruh dan hati kita mengabdi kepada selain-Nya. Sebab hati manusia tidak akan bisa tentram dan bahagia kecuali dengan begantung kepada Rabbnya. Ibadah itu adalah kebutuhan kita, jauh melebihi kebutuhan kita kepada makanan dan minuman, bahkan lebih besar daripada kebutuhan manusia kepada air dan udara!
Baiklah, kita akan lanjutkan untuk memetik faidah dari ayat berikutnya yang dibawakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab at-Tamimi rahimahullah di dalam Kitab Tauhidnya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan beribadahlah kepada Allah, serta janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (an-Nisaa’ : 36)
Perintah Bertauhid dan Larangan Berbuat Syirik
Ayat yang mulia ini menunjukkan wajibnya beribadah kepada Allah semata dan mengingkari segala sesembahan selain-Nya (lihat Al-Jadid fi Syarhi Kitab At-Tauhid, hal. 27)
Apa yang terkandung di dalam ayat ini merupakan hakikat dari kalimat laa ilaha illallah. Karena maksud dari kalimat laa ilaha illallah adalah memerintahkan beribadah kepada Allah dan melarang dari segala bentuk kesyirikan (lihat I’anatul Mustafid bi Syarhi Kitab At-Tauhid, 1/39)
Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah berkata, “Ayat ini menunjukkan bahwasanya menjauhi syirik adalah syarat sahnya ibadah, sehingga ibadah sama sekali tidaklah sah apabila tidak disertai hal itu…” (lihat Qurratu ‘Uyunil Muwahhidin, hal. 6)
Allah berfirman (yang artinya), “Seandainya mereka berbuat syirik niscaya lenyaplah segala amal yang dahulu telah mereka lakukan.” (Al-An’am : 88)
Allah berfirman (yang artinya), “Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu; Jika kamu berbuat syirik pastilah lenyap amal-amalmu, dan kamu benar-benar akan termasuk golongan orang yang merugi.” (Az-Zumar : 65)
Syaikh Abdullah bin Shalih Al-‘Ubailan hafizhahullah mengatakan, “Ketahuilah, bahwa tauhid dan mengikuti hawa nafsu adalah dua hal yang bertentangan. Karena hawa nafsu itu adalah berhala, dan setiap hamba memiliki berhala di dalam hatinya sesuai dengan kadar hawa nafsunya. Dan sesungguhnya Allah mengutus para rasul-Nya dalam rangka menghancurkan berhala-berhala dan untuk beribadah kepada Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya. Dan bukanlah maksud Allah subhanahu adalah hancurnya berhala secara fisik sementara berhala di dalam hati ditinggalkan. Bahkan yang dimaksud ialah menghancurkannya mulai dari dalam hati, ini yang paling pertama.” (lihat Al-Ishbah fi Bayani Manhajis Salaf fi At-Tarbiyah wa Al-Ishlah, hal. 41)
Ayat di atas -dalam surat An-Nisaa’- memberikan faidah tidak boleh mempersembahkan ibadah -apapun bentuknya- kepada selain Allah, sebagaimana tidak boleh menjadikan selain Allah sebagai sesembahan; apapun bentuknya atau siapapun dia. Demikian sebagaimana yang diterangkan oleh Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah (lihat Al-Mulakhash fi Syarhi Kitab At-Tauhid, hal. 15)
Tauhid inilah -beribadah kepada Allah semata dan meninggalkan syirik- perintah paling agung di dalam agama Islam. Sebaliknya, syirik adalah larangan Allah yang paling besar. Oleh sebab itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan iman kepada Allah sebagai rukun iman yang paling pertama, syahadat menjadi rukun islam yang pertama, dan laa ilaha illallah sebagai cabang keimanan yang paling tinggi. Karena itu pula, beliau memerintahkan sahabatnya untuk memulai dakwah Islam dengan mengajarkan tauhid.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu ketika mengutusnya ke Yaman, “Hendaklah yang pertama kali kamu serukan kepada mereka ialah supaya mereka mentauhidkan Allah.” (HR. Bukhari). Yang dimaksud dengan tauhid adalah mengesakan Allah dalam beribadah. Sebagaimana firman Allah (yang artinya), “Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apa pun.” (an-Nisaa’ : 36). Tauhid inilah perintah Allah yang paling agung, sebagaimana syirik adalah larangan Allah yang paling besar (lihat Tsalatsatul Ushul)
Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad hafizhahullah berkata, “…Perkara paling agung yang diserukan oleh Nabi kepada umatnya adalah mengesakan Allah dalam beribadah. Dan perkara terbesar yang beliau larang umat darinya adalah mempersekutukan bersama-Nya sesuatu apapun dalam hal ibadah. Beliau telah mengumumkan hal itu ketika pertama kali beliau diangkat sebagai rasul oleh Allah, yaitu ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai manusia! Ucapkanlah laa ilaha illallah niscaya kalian beruntung.” (HR. Ahmad dengan sanad sahih, hadits no 16603)…” (lihat Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 4/362)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Perkara paling agung yang diperintahkan Allah adalah tauhid, yang hakikat tauhid itu adalah mengesakan Allah dalam ibadah. Tauhid itu mengandung kebaikan bagi hati, memberikan kelapangan, cahaya, dan kelapangan dada. Dan dengan tauhid itu pula akan lenyaplah berbagai kotoran yang menodainya. Pada tauhid itu terkandung kemaslahatan bagi badan, serta bagi [kehidupan] dunia dan akhirat. Adapun perkara paling besar yang dilarang Allah adalah syirik dalam beribadah kepada-Nya. Yang hal itu menimbulkan kerusakan dan penyesalan bagi hati, bagi badan, ketika di dunia maupun di akhirat. Maka segala kebaikan di dunia dan di akhirat itu semua adalah buah dari tauhid. Demikian pula, semua keburukan di dunia dan di akhirat, maka itu semua adalah buah dari syirik.” (lihat al-Qawa’id al-Fiqhiyah, hal. 18)
Prioritas Utama Dakwah Islam
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal di Mekah selama tiga belas tahun setelah diutusnya beliau -sebagai rasul- dan beliau menyeru manusia untuk meluruskan aqidah dengan cara beribadah kepada Allah semata dan meninggalkan peribadatan kepada patung-patung sebelum beliau memerintahkan manusia untuk menunaikan sholat, zakat, puasa, haji, dan jihad, serta supaya mereka meninggalkan hal-hal yang diharamkan semacam riba, zina, khamr, dan judi.” (lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 20-21)
Syaikh Khalid bin Abdurrahman asy-Syayi’ hafizhahullah berkata, “Perkara yang pertama kali diperintahkan kepada [Nabi] al-Mushthofa shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu untuk memberikan peringatan dari syirik. Padahal, kaum musyrikin kala itu juga berlumuran dengan perbuatan zina, meminum khamr, kezaliman dan berbagai bentuk pelanggaran. Meskipun demikian, beliau memulai dakwahnya dengan ajakan kepada tauhid dan peringatan dari syirik. Beliau terus melakukan hal itu selama 13 tahun. Sampai-sampai sholat yang sedemikian agung pun tidak diwajibkan kecuali setelah 10 tahun beliau diutus. Hal ini menjelaskan tentang urgensi tauhid dan kewajiban memberikan perhatian besar terhadapnya. Ia merupakan perkara terpenting dan paling utama yang diperhatikan oleh seluruh para nabi dan rasul…” (lihat ta’liq beliau dalam Mukhtashar Sirati an-Nabi karya Imam Abdul Ghani al-Maqdisi, hal. 59-60)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Tidaklah diragukan bahwasanya Allah subhanahu telah menurunkan al-Qur’an sebagai penjelas atas segala sesuatu. Dan bahwasanya Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah menjelaskan al-Qur’an ini dengan penjelasan yang amat gamblang dan memuaskan. Dan perkara paling agung yang diterangkan oleh Allah dan Rasul-Nya di dalam al-Qur’an ini adalah persoalan tauhid dan syirik. Karena tauhid adalah landasan Islam dan landasan agama, dan itulah pondasi yang dibangun di atasnya seluruh amal. Sementara syirik adalah yang menghancurkan pondasi ini, dan syirik itulah yang merusaknya sehingga ia menjadi lenyap…” (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 14)
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu rahimahullah memaparkan, “Pada masa kita sekarang ini, apabila seorang muslim mengajak saudaranya kepada akhlak, kejujuran dan amanah niscaya dia tidak akan menjumpai orang yang memprotesnya. Namun, apabila dia bangkit mengajak kepada tauhid yang didakwahkan oleh para rasul yaitu untuk berdoa kepada Allah semata dan tidak boleh meminta kepada selain-Nya apakah itu para nabi maupun para wali yang notabene adalah hamba-hamba Allah [bukan sesembahan, pent] maka orang-orang pun bangkit menentangnya dan menuduh dirinya dengan berbagai tuduhan dusta. Mereka pun menjulukinya dengan sebutan ‘Wahabi’! agar orang-orang berpaling dari dakwahnya. Apabila mereka mendatangkan kepada kaum itu ayat yang mengandung [ajaran] tauhid muncullah komentar, ‘Ini adalah ayat Wahabi’!! Kemudian apabila mereka membawakan hadits, ‘..Apabila kamu minta pertolongan mintalah pertolongan kepada Allah.’ sebagian orang itu pun mengatakan, ‘Ini adalah haditsnya Wahabi’!…” (lihat Da’watu asy-Syaikh Muhammad ibn Abdil Wahhab, hal. 12-13)
Apabila memelihara kesehatan tubuh adalah dengan mengkonsumsi makanan bergizi dan obat-obatan, maka sesungguhnya memelihara tauhid adalah dengan ilmu dan dakwah. Sementara tidak ada suatu ilmu yang bisa memelihara tauhid seperti halnya ilmu al-Kitab dan as-Sunnah. Demikian pula tidak ada suatu dakwah yang bisa menyingkap syirik dengan jelas sebagaimana dakwah yang mengikuti metode keduanya [al-Kitab dan as-Sunnah, pent] (lihat asy-Syirk fi al-Qadiim wa al-Hadiits, hal. 6)
Imam Bukhari rahimahullah memulai kitab Sahih-nya dengan Kitab Bad’il Wahyi [permulaan turunnya wahyu]. Kemudian setelah itu beliau ikuti dengan Kitab al-Iman. Kemudian yang ketiga adalah Kitab al-‘Ilmi. Hal ini dalam rangka mengingatkan, bahwasanya kewajiban yang paling pertama bagi setiap insan adalah beriman [baca: beraqidah yang benar/bertauhid]. Sementara sarana untuk menuju hal itu adalah ilmu. Kemudian, yang menjadi sumber/rujukan iman dan ilmu adalah wahyu [yaitu al-Kitab dan as-Sunnah] (lihat dalam mukadimah tahqiq kitab ‘Aqidah Salaf wa Ash-habul Hadits, hal. 6)
Betapa pun beraneka ragam umat manusia dan berbeda-beda problematika mereka, sesungguhnya dakwah kepada tauhid adalah yang pokok. Sama saja apakah masalah yang menimpa mereka dalam hal perekonomian sebagiamana yang dialami penduduk Madyan -kaum Nabi Syu’aib ‘alaihis salam– atau masalah mereka dalam hal akhlak sebagaimana yang menimpa kaum Nabi Luth ‘alaihis salam. Bahkan, meskipun masalah yang mereka hadapi adalah dalam hal perpolitikan! Sebab realitanya umat para nabi terdahulu itu -pada umumnya- tidak diterapkan pada mereka hukum-hukum Allah oleh para penguasa mereka… Tauhid tetap menjadi prioritas yang paling utama! (lihat Sittu Duror min Ushuli Ahli al-Atsar oleh Syaikh Abdul Malik Ramadhani hafizhahullah, hal. 18-19)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Sesungguhnya tauhid menjadi perintah yang paling agung disebabkan ia merupakan pokok seluruh ajaran agama. Oleh sebab itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dakwahnya dengan ajakan itu (tauhid), dan beliau pun memerintahkan kepada orang yang beliau utus untuk berdakwah agar memulai dakwah dengannya.” (lihat Syarh Tsalatsah al-Ushul, hal. 41)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iman terdiri dari tujuh puluh sekian atau enam puluh sekian cabang. Yang paling utama adalah ucapan laa ilaha illallah dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu adalah salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan bahwa bagian iman yang paling utama adalah tauhid yang hukumnya wajib ‘ain atas setiap orang, dan itulah perkara yang tidaklah dianggap sah/benar cabang-cabang iman yang lain kecuali setelah sahnya hal ini (tauhid).” (lihat Syarh Muslim [2/88])
Konsekuensi Dakwah Tauhid
Konsekuensi dari dakwah tauhid ini adalah memperingatkan kaum muslimin dari syirik dengan segala bentuknya. Karena syirik adalah dosa besar yang paling besar, sebab terhapusnya amal, dosa yang tidak diampuni oleh Allah, dan sebab kekal di dalam neraka Jahannam. Allah berfirman (yang artinya), “Sungguh jika kamu berbuat syirik maka pasti lenyap amal-amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (az-Zumar : 65) (lihat al-Mukhtashar al-Hatsits, hal. 179-180)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Barangsiapa menghendaki keselamatan bagi dirinya, menginginkan amal-amalnya diterima dan ingin menjadi muslim yang sejati, maka wajib atasnya untuk memperhatikan perkara aqidah. Yaitu dengan cara mengenali aqidah yang benar dan hal-hal yang bertentangan dengannya dan membatalkannya. Sehingga dia akan bisa membangun amal-amalnya di atas aqidah itu. Dan hal itu tidak bisa terwujud kecuali dengan menimba ilmu dari ahli ilmu dan orang yang memiliki pemahaman serta mengambil ilmu itu dari para salaf/pendahulu umat ini.” (lihat al-Ajwibah al-Mufidah ‘ala As’ilatil Manahij al-Jadidah, hal. 92)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Wajib untuk mempelajari tauhid dan mengenalinya sehingga seorang insan bisa berada di atas ilmu yang nyata. Apabila dia mengenali tauhid maka dia juga harus mengenali syirik apakah syirik itu; yaitu dalam rangka menjauhinya. Sebab bagaimana mungkin dia menjauhinya apabila dia tidak mengetahuinya. Karena sesungguhnya jika orang itu tidak mengenalinya -syirik- maka sangat dikhawatirkan dia akan terjerumus di dalamnya dalam keadaan dia tidak menyadari…” (lihat at-Tauhid, ya ‘Ibaadallah, hal. 27)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Maka tidak akan bisa mengenali nilai kesehatan kecuali orang yang sudah merasakan sakit. Tidak akan bisa mengenali nilai cahaya kecuali orang yang berada dalam kegelapan. Tidak mengenali nilai penting air kecuali orang yang merasakan kehausan. Dan demikianlah adanya. Tidak akan bisa mengenali nilai makanan kecuali orang yang mengalami kelaparan. Tidak bisa mengenali nilai keamanan kecuali orang yang tercekam dalam ketakutan. Apabila demikian maka tidaklah bisa mengenali nilai penting tauhid, keutamaan tauhid dan perealisasian tauhid kecuali orang yang mengenali syirik dan perkara-perkara jahiliyah supaya dia bisa menjauhinya dan menjaga dirinya agar tetap berada di atas tauhid…” (lihat I’anatul Mustafid bi Syarh Kitab at-Tauhid, 1/127-128)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Maka tidaklah cukup seorang insan dengan mengenali kebenaran saja. Akan tetapi dia harus mengenali kebenaran dan juga mengenali kebatilan. Dia kenali kebenaran untuk dia amalkan. Dan dia kenali kebatilan untuk dia jauhi. Karena apabila dia tidak mengenali kebatilan niscaya dia akan terjerumus ke dalamnya dalam keadaan dia tidak mengerti…” (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 62)
Demikian sedikit catatan yang bisa kami sajikan. Semoga bermanfaat bagi kita.